Minggu, 02 April 2023

Kotak Hiburan itu Kini Kuno

TIADA putusnya keinginan orang, pun tiada hentinya pula orang memenuhinya. Apa saja. Dari kapal induk terbaru, tercanggih sampai mobil listrik teririt dalam menyedot battery. Sampai ponsel, juga televisi.

Dulu kalau ada orang beli pesawat tivi, yang ada rak atau bufetnya, ada kakinya, ada pintunya. Orang sekampung yang ikut senang. Padahal itu cuma tivi hitam-putih, yang agar berwarna maka dibelikanlah lapisan mika berwarna-warni di depannya. 

Saya mengalami masa-masa itu. Ketika jumlah orang sekampung yang punya pesawat tivi bisa dihitung jari, itu pun jari sebelah tangan. Yang kalau malam, para tetangga berdatangan, numpang nonton. Namanya numpang, ya harus sabar. Pun saat kekuatan aki tinggal tak seberapa. Maka saat acara yang tak disuka ditayangkan, tak perlu pula tv dinyalakan. Hemat daya. Agar saat Galarama atau acara ketoprak Siswo Budoyo disiarkan, strum aki masih mumpuni. Bukan malah gambar jadi mbangkik, mengecil di tengah, pertanda daya aki sudah terengah-engah mensuplai daya tv berukuran 14 inchi.

Kini, nyaris setiap rumah mempunyai pesawat televisi, bahkan lebih dari satu. Itu pun belum cukup. Seperti halnya ponsel, pesawat tivi pun dipintarkan. Di-smart-kan. Semua fitur yang diinginkan penonton (kadang kebablasan, sampai ke fitur yang tak diinginkan) semua ditanamkan. Hanya kompor gas dan kulkas saja yang gak ada.

Cukup? Mana pernah begitu.

Di saat begini, hadirlah ASO. Siaran tivi analog disuntik mati dengan dosis suntikan yang manjur, walau awalnya jadwal ASO-nya sering diundur. 


Bagi sebagian orang sih kurang ngaruh, toh sudah punya tv pintar. Pun bagi yang biasa berlanggganan tivi berbayar. Yang gambar tivinya memang sangat bening, bebas semut. Dengan beragam acara yang ada. Ohya, itu kan bayar. Yang ini gratis, tis, tis...

Saya bertanya kepada beberapa orang, mengenai matinya siaran tivi analog ini. Yang terbaru di area Bali, juga Palembang.

"Gak terlalu heboh, Mas. Saya dan tetangga kanan-kiri banyak yang tivinya sudah support digital, jadi ya tetap bisa nonton tivi", kata Mas Sus, pria asal Tegal, Jateng, yang sudah cukup lama menetap di Bali. Saya kenal baik dengan pria ramah ini karena dulu, saat saya ada tugas kerja di Bali, dia sering antar atau jemput saya di Ngurah Rai.

Lain halnya dengan Komang Suwarda. Pria yang hobi bertandang ke tempat tajen ini mengatakan, orang-orang di lokasi tajen (sabung ayam, dengan kaki ayamnya dipasang semacam belati kecil) malah masih geram dengan gubernurnya. "Disini orang masih ngomongin Pak Koster. Masyarakat banyak yang kecewa. Mereka menilai statement pak gubernur dituding ikut sebagai biang batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia. Ndak ada orang ngomongin siaran tivi dimatikan", terang Bli Komang dengan kalem.

Lain lagi dengan Pak Made Suwastika. Pria yang sehari-hari mengemudikan mobil antar-jemput anak sekolah ini mengaku, tidak bisa nonton televisi lagi. 

Saya sempat memandu via panggilan video untuk melakukan pencarian pada pesawat televisinya. Namun apa daya, baik pencarian otomatis maupun manual, tetap zonk hasilnya. Ternyata oh ternyata, televisi LED merk LG miliknya itu belum digital. "Sudah lama sih ini belinya", terangnya. 

Saya lalu menghubungi Pak Ngurah yang tinggal di dusun Bugbugansari, desa Senganan, kecamatan Penebel. Dusun asri ini berjarak sekira 25 kilometer dari kota Tananan, ke arah Jatiluwih.

"Saya gak repot, Mas", jawabnya sambil tertawa. "Saya gak hidupin tivi. Gak punya alatnya. Saya lihat HP saja".

"Iya pak", sahut saya. "Kalau nonton HP kan banyak pilihannya. Mau lihat berita ada, olahraga ada, masak-masak juga ada. Kalau tivi?" pancing saya.

"Tivi itu ketinggalan zaman, Mas. Sudah kuno..." sahutnya sambil terkekeh.

Saya ikut tertawa. Saya kurang tahu apa merk dan type ponsel Pak Ngurah. Tetapi saya yakin, pegangannnya itu sudah berkelas smartphone, telepon pintar. Sementara, keyakinan saya yang lain, pastilah pesawat televisi di rumah Pak Ngurah masihlah belum berjenis smart-tv.

Bagaimana dengan Anda?*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar