Selasa, 31 Mei 2022

Antena TV Terbaik

ANTENA Titis TS-1000. Itu antena TV pertama yang saya dapatkan secara gratis dari seorang teman blogger. Dikirim dari mBantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lebih istimewa lagi, antena itu saya terima secara bersih, tanpa biaya. Bahkan ongkir pun dibayar oleh pengirim. Sebagai sesama penikmat siaran tv digital, kami serasa akrab walau tak sekalipun pernah kopdar. Waktu itu belum seperti sekarang. Gaung migrasi alias ASO (Analog Switch Off) masih sayup-sayup. Timbul-tenggelam. Pihak LPS kesannya juga masih ogah-ogahan. Dengan bermacam alasan. Pihak yang rajin menayangkan iklan tentang migrasi televisi digital, seingat saya, waktu itu cuma TVRI.

Kini, sekian belas tahun kemudian, sudah berbeda keadaannya. Televisi swasta sudah pada rada injak gas. Simulcast dimana-mana. Dengan si Modi, maskot ASO ditampilkan di sudut layar kaca. Sekalipun begitu, siaran analog LPS itu juga tetap bening, dimana-mana. Sehingga, "Siaran analog masih bisa dinikmati kok, nanti saja kalau sudah tidak ada, baru aku beli STB", begitu kata teman saya yang tinggal di Kediri.

Intinya: menunggu. Saat siaran tv analog benar-benar disuntik mati. Yang jadwalnya sudah jelas itu. Walau, disini, apa-apa yang sudah jelas pun bisa saja dikoreksi. Termasuk tentang program migrasi ini. (baca juga: ASO Diundur (LAGI!)

Kembali ke soal antena. Rupanya si Titis TS-1000 itu bukan antena terakhir yang saya dapatkan secara gratisan. Ada merk PX yang juga menambah koleksi antena saya. Walau si produsen PX mengajukan syarat, saya harus bikin konten tentangnya. Semacam barter. Ya, endorse-lah.

Tentu saja saya juga beli antena. Ada merk Paramount Gold, ada juga Venus Cabai Rawit. Termasuk si 'eplek-eplek' setipis kertas Taffware-D139

Dan tempo hari saya mendapat kiriman antena lagi. Ini antena hand made, dari sahabat Youtuber Madiun. Tanpa merk. Tetapi, melihat bentuknya, antena itu amat pantas disebut sebagai antena layang-layang.

Yang buatan pabrikan tentu tampak lebih rapi. Lalu ada semacam rangkaian elektronika entah apa namanya tersemat di dalamnya. Maaf, saya awam tentang hal itu. Sementara, si layang-layang ini tampil polos. Terbuat dari pipa alumunium yang dibentuk seperti layangan, dan untuk pemasangan kabel coaxial hanya dililitkan di bagian ekor secara menyilang. Ujung kabel serabut di satu sisi, ujung kabel tunggal di sisi lainnya. Sudah. Gitu aja. Sama sekali tak repot.

Lalu antena yang mana yang punya performa terbaik dalam menangkap sinyal?

"Intinya antena televisi itu yang penting dapat menangkap sinyal secara maksimal, yang membuat siaran tivi bisa dinikmati secara bening. Tak ada apa itu antena digital. Itu hanya istilah dagang saja, agar bisa dijual mahal", seorang teman berargumen. Yang kedengarannya itu masuk akal bagi saya yang awam ini.

Tentu pembuat antena, entah itu industri rumahan maupun pabrikan besar, masing-masing punya rumus agar si antena dapat menangkap sinyal secara maksimal. Namun, "Bikin konten itu yang kreatif dikit napa? Misalnya bikin antena berbahan alumunium foil bekas bungkus rokok kek...", seorang teman berkirim wasap kepada saya. Rupanya ia barusan nonton konten yang saya unggah di Youtube sekian jam sebelumnya.

Asem tenan! Sudah tahu saya ini nul-puthul elektronika kok dipanasi begitu. Baiklah. Kalau dia pernah bikin antena berbahan dua kaleng bekas kemasan minuman bersoda, dengan hanya menyambung kabel koaksial di dua kaleng tersebut, sepertinya saya juga bisa. Seperti halnya dua seng bekas plat nomor bisa dibikin antena sebagaimana pernah saya lihat di Youtube


Bismillah. Saya buat. Bukan dari kaleng atau plat nopol bekas, tapi dari bahan yang ada di tool box saya. Kebetulan ada potongan seng kecil, juga ada gergaji besi yang sudah tugel, tinggal separo. Saya kasih kabel antena. Jadi deh. Hasilnya? Bisa juga tuh menangkap sinyal digital!

Dengan demikian, kalau ditanya: antena yang terbaik adalah; antena yang dapat menangkap sinyal secara maksimal. Tak peduli itu buatan pabrik dengan merk terkenal, atau hanya antena abal-abal. 

Bagaimana pendapat Anda?

Salam tv digital dari Surabaya!****





Rabu, 18 Mei 2022

STB Recommended

TADI pagi saya ditelepon teman sekolah dulu. Yang kini mukim di Jakarta. Yang sudah sekian puluh tahun tak pernah berjumpa. Wasap-lah yang menjadikan kami saling sering mengintip. Obrolan teman. Di grup wasap alumni sekolah kami. Angkatan dahulu kala.

Selain mengintip obrolan teman lain, rupanya dia juga mengintip sosmed saya. Mungkin blog ini, atau kanal Youtube saya. Dan kata sebuah ungkapan, bicaralah tentang satu topik tertentu, kapan saja, niscaya orang akan mengenalmu sebagai orang yang tak jauh dari yang selalu kau obrolkan itu. Dengan kata lain, itulah yang dinamakan personal branding.

Maka ketika si teman saya itu minta wangsit kepada saya tentang STB apa yang menurut saya patut direkomendasikan untuk dibelinya, itu semacam efek dari personal branding tersebut. Bahwa dia mengenal saya sebagai yang sering saya bahas. Padahal, jujur saja, saya ini tak ahli dalam hal elektronika begitu. Baik software maupun hardware. Pokoknya saya ini nul-puthul

Benar memang, saya pernah mencoba memakai beberapa merk STB. Menurut saya, nyaris semuanya setali tiga uang. Mirip-mirip saja. Tampilan fisiknya, juga tampilan di layar saat STB dihidupkan. Sebagai yang gak paham, tentu saya menghindarkan diri untuk membandingkan antara satu STB dengan STB merk lainnya dari sisi dalemannya, chipset-nya, software-nya dan sejenisnya.

Sampai disini saya malah punya asumsi, jangan-jangan beberapa merk STB itu diproduksi oleh satu pabrik yang sama. Kecuali merk-merk ternama. Jangan-jangan STB-STB itu seperti saat dulu kita dibanjiri oleh motor buatan China. Ada Sanex, Jialing, Dayang dan banyak lagi merk yang lainnya. Kalau untuk bikin motor saja mereka bisa, untuk bikin STB tentu hal kecil dan tinggal pesan: mau dikasih merk apa. (Maaf, ini asumsi saya lho ya😊).

Kembali ke pertanyaan teman saya tadi, STB yang patut direkomendasikan tentu idealnya adalah yang secara spesifikasi sudah sesuai regulasi yang diterapkan di sini. Misal, sudah SNI. Sudah support EWS (Early Warning System). Perkara lalu STB itu bisa untuk Tiktok, Youtube dll saya pikir itu sebagai pemanis buatan saja. Karena, menurut saya, layar televisi laiknya dinilai sebagai sarana hiburan bersama. Bukan untuk dinikmati sendirian sebagaimana ponsel pintar. 

Jadi? Maaf, ini menurut saya lho ya --dan Anda tidak sependapat juga tak apa-- STB-T2 itu 'hanya' perangkat untuk agar kita bisa melihat siaran digital sementara pesawat tivi kita masih analog. Itu saja. Sehingga STB yang sesuai tentu yang tak jauh dari itu. Agar bisa untuk nonton tivi digital. Perkara merk, ada banyak dengan rentang harga yang tak terpaut jauh. Misalnya di pasaran banyak sekali dijual aneka merk mulai Matrix, Venus, Kaonsat, Evinix, Luby, Intra, Hinomaru, Welhome dll. dengan bermacam varian dan fiturnya. 

Contoh salah satu merk STB
yang ada di pasaran.

Namun saya perhatikan, justru merk ternama di jagad elektronika Indonesia macam Polytron, Akari atau Sharp yang belakangan ikutan memproduksi STB juga, pada produk STB-nya justru tak mengandung banyak fitur. Malah kesannya standard dan minimalis sekali. Ya itu tadi, asal bisa untuk nonton siaran tv digital terrestrial pakai pesawat yang masih analog. 

Secara after sales sarvice, tentu merk-merk yang saya sebut belakangan tadi lebih jelas dimana alamat  Service Center-nya. Namun, dengan harga baru yang di kisaran dua ratus ribuan, kalau layanan purna jual tempat dimana kita bisa memperbaikkan STB kalau terjadi kerusakan itu jauh letaknya, tentu perlu dipikir ulang. 

Walau tak semua tukang service TV menerima jasa perbaikan STB, bila beruntung kita bisa memperbaikkan STB kita yang rusak, yang tak jelas dimana Service Center-nya itu kepada mereka. Ongkosnya?

"Kalau setelah saya cek kerusakannya, lalu beli pengganti part yang bermasalah ditambah biaya jasa perbaikannya mendekati setengah harga kalau beli baru, biasanya saya sarankan untuk beli baru saja," demikian kata teman saya yang cukup expert di bidang perbaikan STB (baik S2 maupun T2).

Padahal, namanya juga barang elektronika, ibarat kata ya cuma mujur-mujuran saja. Ambil misal, saya beli STB merk Venus Cabai Rawit, sudah hampir dua tahun saban hari saya nyalakan sampai saat ini tetap sehat wal afiat. Sedangkan punya tetangga saya, dengan merk dan type yang sama dan waktu pembelian yang tak tepaut jauh, baru dua bulan pemakaian sudah tewas duluan.

Simpulan dan rekomendasi STB dari tulisan sepanjang ini adalah: belilah STB sesuai kebutuhan sekaligus sesuaikan dengan budged-nya. Perhatikan fiturnya, kalau itu penting, pertimbangkan. Kalau tak perlu fitur itu, pilih yang standard saja. Kalau sudah, berdoalah. Semoga awet STB-nya.***



Kamis, 12 Mei 2022

ASO Diundur (LAGI) !?

SEJAK kapan kita punya budaya tepat waktu?

Ah, janganlah begitu. Tetapi saya jadi ingat iklan pada baliho-baliho di jalan-jalan utama. Iklan itu, Anda tahu, adalah kalimat usil nan nylekit walau kadang --sambil nyengir-- kita mau tak mau mengiyakannya. Betul, iklan itu memang dari sebuah produk rokok. Namun pesan yang ditampilkan, bagi siapapun kadang sungguh menohok.

Misal, bunyinya begini: Alasan adalah Kunci Jawaban.

Saya tak hendak menantang debat siapapun. Namun, bangsa kita memang boleh kalah dari negara manapun untuk sepakbola atau bulutangkis, umpamanya. Namun untuk urusan mencari alasan, tunggu dulu. Mari kita lestarikan lagunya Dewi Lestari: 🎼🎡...malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya...🎢🎢

ASO ini pun demikian. Sudah sejak lama dicanangkan. Tahapan-tahapannya. Daerah ini ikut tahap pertama, daerah lain menyusul berikutnya. Rapi jali. Planning-nya. Pas hari H?

Tanggal 30 April 2022 kemarin yang secara jadwal ada sekian ratus daerah yang mestinya tv analognya dimatikan permanen, ternyata realisasinya tidak demikian. Sebagian besar daerah itu tv analognya masih mengudara. Sampai saat ini belum (di)mati(kan). ASO diundur (lagi untuk ke sekian kali)?

Bukan diundur, tetap sesuai road map. Tetapi daerah yang ASO-nya ditunda itu, adalah daerah yang secara kasuistis dinilai kurang siap. Baik insfrastrukturnya, maupun ketersediaan STB-nya. Termasuk komitmen pihat LPS dalam memberi STB gratis bagi masyarakat di daerah tersebut. Dan bagi yang sudah siap, tetap jalan. Analog dimatikan.

Baca pelan-pelan. Itu penjelasan, gaess. Janganlah semua dinilai sebagai suatu alasan. Walau tidak disebutkan, ada lho masyarakat yang sudah secara suka rela beli STB sendiri tanpa menunggu pembagian gratis. 

"Lumayan, Mas. Sehari rata-rata laku 50 unit," kata teman saya di Ngawi yang di toko elektroniknya juga berjualan STB.

Dengan kata lain, ada masyarakat yang sudah siap ASO mandiri, demi bisa mononton siaran tivi bebas semut. 

Hal lainnya adalah, kalau sampai sekarang masih ada yang kurang ngeh apa itu ASO, dengan demikian, maka: apakah sosialisasinya yang kurang berhasil, ataukah orangnya saja yang kudet. Misal, ada lho yang menganggap ASO ini menyangkut juga siaran TV kabel. Dari kelas ecek-ecek yang banyak sekali beroperasi di daerah-daerah dengan kategori siaran tivi tak bisa dinikmati pakai antena UHF, sampai penyedia layanan tivi kabel sekelas LinkNet. Padahal, tidak begitu, Ferguso. Beda. Tidak sama alias mboten sami!


Benar memang, LinkNet dan seabreg penyedia jasa tivi kabel di daerah-daerah, di era digital ini masih ada juga yang 'jualan' siaran analog. Nah, apakah siaran analognya itu juga dimaksud dalam ASO yang sedang kita bicarakan? Sekali lagi: ya tidak! Beda jalur.

ASO yang digagas pemerintah adalah yang pakai frekuensi yang dipancarkan via stasiun transmisi. Yang pakai tower pemancar itu. Yang harus ditata. Agar tidak boros bandwidth. Yang mana spektrum frekuensi itu nanti, setelah semua tv tertata bersiaran di kanal digital, akan dialokasikan untuk internet.  Sementara siaran tivi kabel disalurkan melalui kabel, bukan dipancarkan melalui menara pemancar yang frekuensinya mutlak diatur ketat oleh pemerintah.

Nah, jelas sudah. Walau nanti semua kanal televisi di Indonesia sudah migrasi ke jalur digital, kalau pihak tv kabel (macam LinkNet, misalnya) masih 'jualan siaran analog' ya gak ngaruh. Sepanjang ada yang berlangganan. Kalau lalu LinkNet menawarkan siaran digital kepada pelanggannya, sekali lagi, itu tidak ada hubungannya dengan program ASO / Analog Switch Off. Itu hanya murni ilmu jualan. Bahwa, kalau mau konten yang digital, harga berlangganannya juga mesti naik. Begitu. Sesimple itu.

Lagian, program migrasi dari analog ke digital yang dijalankan pemerintah itu adalah untuk mengatur dan menata frekuensi siaran televisi baik LPP (Lembaga Penyiaran Publik --TVRI) maupun LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) yang jumlahnya sekarang sudah 700 lebih. Ingat, itu semua adalah siaran FTA alias Free to  Air. Yang gratis, tis, tis. Bukan konten siaran milik pay tv macam HBO, StarSport, Fox, National Geographic, Waku-waku Japan dan sejenisnya.

Bagaimana?  ****