Kamis, 22 Desember 2022

ASO Surabaya dan Harga STB

SAYA setel alarm. Saya ingin bangun 10 menit sebelum siaran televisi analog dimatikan, Selasa lalu. Atau sudah masuk hari Rabu ya. Saya ingin melihat detik-detik gambar siaran televisi analog untuk terakhir kali. 

Entah kenapa, setelah beberapa kali tertunda, kali ini saya yakin. Bahwa siaran televisi analog akan benar-benar dimatikan. Rupanya, ada beberapa yang berpendapat beda. Menengok yang sudah-sudah, si berbeda ini masih berpendapat: pasti ASO alias Analog Switch Off tak jadi lagi! Ditunda lagi.

Sebuah keyakinan yang keliru ternyata. Karena, sekian detik setelah pukul 00.00, satu per satu siaran televisi analog di Surabaya menemui ajalnya. Menyusul kanal analog TVRI Surabaya yang 'bunuh diri' eh, ASO duluan ding.

Rabu pagi, yang saya duga terjadi. Orang-orang yang belum beli STB pada nggrundel, mengeluh. Sambil sesekali mencari kambing hitam. 

Sebagian --dengan nada agak miring-- ada yang menduga ini 'kerjaan' si itu atau si anu. Halpada alias padahal, ini program luama yang terkesan alotnya minta ampun untuk diwujudkan. Untuk yang nyetatus di sosmed dan berpendapat program migrasi ini sosialisasinya kurang, dikomentari oleh teman saya: kamu tidurnya kurang miring!

Saya tadinya berharap pemirsa yang belum punya STB dan televisinya belum support digital melihat pengalaman ASO di Jabodetabek atau Bandung, Yogya, Semarang. Bahwa, STB akan jadi buruan. Maka, baiknya sedia payung sebelum hujan. Beli STB duluan sebelum siaran analog dimatikan. Agar apa? Ya agar mendapatkan STB dengan harga wajar. Yang harganya belum naik-naik ke puncak gunung tinggi tinggi sekali.

Sekarang sudah kadung, sudah telanjur. STB kisarannya sudah di harga 250 bahkan 350 ribu, untuk jenis dan type yang sebelumnya hanya di bawah 200 ribu. Dan, orang-orang pada berebut. Walau tak sedikit di sosial media yang bilang 'sekarang bukan zamannya orang nonton tivi konvensional, saat ini zamannya Youtube, TikTok dan siaran streaming'. Ternyata mbelgedhes. Orang sebagian besar tetap nonton televisi yang gratisan. Buktinya STB --apa pun mereknya dan berapapun harganya-- laris manis di pasaran.

Balik ke siaran tivinya. Setelah ASO, di area Surabaya MUX Viva (yang dihuni antvtvOneSportOneNET.HD dan ArekTV) langsung gercep tancap gas di kanal baru. Yang tadinya di ch. 23, kini ada di 32. Metro yang di 25, kini menghuni channel 38. Tentu karena masih transisi, frekuensi lama tetap mengudara, walau secara power, frekuensi baru lebih jos-markojos. Nantinya Trans juga akan boyongan ke kanal 44, dari frekuensi transisi di ch. 27. Kapan? Ditunggu saja! ****

Minggu, 11 Desember 2022

SurabayaTV, Matahari Mati Suri?

SAAT Anda membaca tulisan ini tentu telah berbeda hari dari saat saya menuliskannya. Saat dimana mungkin telah terjadi suntik mati siaran tv analog di Surabaya. Ketika saya membuat tulisan ini, ASO (Analog Switch Off) di Surabaya dan sekitarnya (area Jatim-1; mencakup wilayah Gerbangkertasusila juga sebagian Pasuruan), secara hitung mundur kurang sembilan hari.

Secara waktu, tentu sembilan hari itu pendek sekali. Dibanding rentang panjang 'peta jalan' dimulainya migrasi ini. Sejak zaman menkominfonya pak M. Nuh. Hari ini, kalaulah ada pemirsa yang belum siap (tvnya masih belum digital, tak jua segera beli STB), kelompok ini akan tak bisa menyaksikan siaran tv setelah tanggal 20 Desember nanti.

Secara jumlah stasiun tv yang saat ini telah bersiaran digital di Surabaya terbilang sudah komplet. Dalam artian tv yang selama ini bersiaran analog. Lebih malah. Karena ada stasiun tv yang tidak ada di analog kini mengudara di kanal digital. Ambil misal CNN Indonesia, CNBC, Magna, BNtv, TVRI Sport, TVRI World, MaduTV dll. Juga ada tv lokal yang secara analog menghuni frekuensi 44 analog, yang sekian lama kurang terdengar kabarnya, sekarang muncul lagi. Tidak lagi di jalur analog, tetapi bersiaran di kanal digital. Ikut MUX-nya TVRI di channel 35 UHF. Ya, Anda betul: SurabayaTV.

Acara musik Jawa 
di SurabayaTV

Secara afiliasi jaringan, SurabayaTV adalah dari kelompok Indonesia Network-nya BaliTV bersama BandungTV, SemarangTV dan entah tv mana lagi. Namun dimana-mana, entah sampai kapan, taring sekaligus rating tv lokal kalah tajam dari tv nasional. Kualitas konten menjadi salah satu senjata tumpul tv lokal melawan dominasi konten tv nasional. Yang secara kapital memang lebih unggul. Benar, bisnis tv adalah bisnis yang mengandalkan kreatifitas. Dan, sebuah ide dari tim kreatif yang kemudian dieksekusi menjadi konten siaran, membutuhkan modal cuan yang cukup agar saat ditayangkan terlihat yahud. 

Tentu ada tv lokal yang sanggup mencari celah agar mampu menyelinap dan tampil di antara jajaran dan jor-joran program tv nasional. Ambil misal Jtv. Ia stasiun tv lokal yang punya program andalan dan cukup dikenal. Ada Pojok Kampung di segmen berita, juga ada Stasiun Dangdut di musik. MaduTV dan tv9 tentu telah punya segmen pemirsa tersendiri, dengan konten siaran andalan yang kita telah tahu sendiri. Sementara untuk ArekTV, BBSTV dan JawaPos tv (dh. SBO) kok saya belum menemukan program yang menjadi semacam killer content-nya.

Bagaimana dengan SurabayaTV? TV ini sebenarnya telah lama ada. Di jalur analog, di Surabaya. Namun sayangnya adanya, seperti tak adanya. Dalam artian, sekian lama ia seperti mati suri. Secara izin masih hidup, secara siaran ia mati. Kini SurabayaTV telah muncul dengan kualitas gambar yang bersih, suara yang jernih dengan teknologi lebih canggih. Ya, seperti tagline-nya si Modi.

Namun bagaimana program siarannya? Akankah ia sanggup membuat konten yang bisa menawan sekaligus menahan pemirsa agar tidak segera menekan tombol remote control untuk berpindah ke saluran lain?

SurabayaTV mempunyai slogan yang cukup mbois: Matahari dari Surabaya. Semoga 'matahari' itu selalu bersinar di kota pahlawan ini. Mampu menembus bayang-bayang kelabu acara (yang sebenarnya) kurang bermutu dari tv swasta nasional, namun anehnya banyak yang suka.*****


Rabu, 07 Desember 2022

Akhirnya Surabaya ASO Juga...

BEBERAPA hari yang lalu sempat tersiar kabar bahwa ASO (Analog Switch Off) di area Jatim-1 (Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan, Gresik, Lamongan) akan dilaksanakan pada tanggal 16 Desember. Jam 24.00 WIB. Kabar itu sempat beredar di kalangan pemerhati siaran tv digital. Walau, akhirnya kabar itu kemudian menjelma menjadi seperti kabar burung.

Di kalangan pemirsa awam, tentu tak begitu antusias mendengarnya. Namun, bagi kalangan pemerhati, ada analisa yang masuk akal. Bahwa tak mungkin ASO dilaksanan tanggal 16. Kenapa? Bukankah final ajang Piala Dunia baru akan digelar tanggal 18 Desember. Bisa dibayangkan, betapa akan terjadi semacam 'kekacauan' bila penggila bola tiba-tiba tidak bisa menyaksikan laga final pesta bola paling akbar sejagad raya itu.

Betul, bagi gibol yang televisinya sudah digital dan atau memang sudah biasa menyaksikan siaran live World Cup via jalur (berbayar) lainnya, tentu tak masalah. Namun bagi pemirsa yang hanya mengandalkan tayangan gratisan via siaran televisi (analog), bila siarannya dimatikan, tentu akan misuh-misuh --walau dalam hati. 

Menghindari hal itu, maka diambil keputusan: ASO di area Jatim-1 dilaksanakan tanggal 20 Desember 2022. 

Apakah akan lanjay alias lancar jaya dan tanpa gejolak? Semoga demikian. Walau, bisa juga terjadi satu-dua pemirsa tv yang selama ini santuy dan kurang peduli walau di layar kaca acap dipampang sosialisasi tentang program migrasi ini, saat tv analog benar-benar disuntik mati akan mengomel dan menyalahkan sana-sini dibumbui argumentasi versinya sendiri.

Hal lainnya lagi adalah, seperti halnya terjadi tempo hari di Jabodatabek dan kemudian juga di Semarang, Bandung, Yogya: orang ramai-ramai mendatangi toko elektronika untuk membeli STB. Di saat seperti panic buying begitu, jangan tanya harga STB. Naik gila-gilaan. 



Barusan saya membaca wasap teman, bahwa stok STB di pasar Genteng Baru Surabaya menipis. Pasalnya tempo hari sempat diborong orang dari Semarang. Sepertinya akan dijual lagi untuk memenuhi tingginya permintaan STB setelah ASO disana.  Nah, nah. Kalau di pasar Genteng yang nota bene adalah pusat peralatan antena dan reciever DVB-S2 maupun DVB-T2 stok menipis, alamat toko-toko elektonik lainnya akan diserbu pemburu STB. Hukum lainnya adalah, bila demand lebih besar dibanding supply, tentu harga akan melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi. 

Makanya saya bilang, saat tepat beli STB adalah sekian tahun yang lalu. Di kala harganya masih wajar. Ada STB yang harganya 160 ribu atau paling banter 200 ribu. Tetapi kini bukan sebagai nasi telah jadi bubur, namun mau tidak mau, bagi orang yang pesawat tv-nya belum digital, selain beli tv baru yang sudah ber-tuner digital, ya harus pakai STB. 

Bagaimana dengan pesawat televisi Anda?****

Sabtu, 19 November 2022

Evinix DM-01 || Digital Modulator

AWALNYA, layanan siaran tv kabel di tempat kerja saya ini masih analog. Kini sudah migrasi ke digital. Istilahnya ASO, Analog Switch Off. Tentu ada beberapa konsekuensi. Misal, bagi pesawat televisi yang belum ber-tuner digital, agar bisa menerima siaran mesti ditambah perangkat Set Top Box. Iya, persis di siaran digital terrestrial. STB-nya juga sama. Bedanya, frekuensi digital pada tv kabel sinyal dirambatkan pakai jaringan kabel. Sedangkan untuk terrestrial sinyal ditransmisikan memakai gelombang yang dipancarkan dari menara pemancar.

Konsekuensi lainnya adalah bila sebelumnya kami bisa meng-inject CCTV kini tak bisa lagi. Karena jaringan CCTV kami masih analog. Maka dibutuhkan perangkat tambahan: Modulator digital. Karena kalau pakai trasmodulator, walau secara fitur lebih oke, dibanding modulator harganya pun juga berlipat ganda.

Maka kami mengajukan pengadaan modulator saja. Sebiji. Itu pun harganya sudah lebih dari dua jeti. Merk-nya Evinix, typenya DM-01. Toh cuma pakai untuk CCTV. Itu pun nanti. Karena tugas awal si modulator di waktu ini adalah ke Qatar dulu.

Secara bentuk, modulator ini seukuran STB. Dengan cara setting yang tak seberapa rumit, walau pilihan bahasanya tak ada yang bahasa Indonesia.

Display dan tombol ada di bagian atas. Terdapat beragam menu. Setel frekuensi, penamaan channel dan pilihan negara dll. Yang lagi-lagi tiada nama Indonesia. Tak soal. Kita bisa pilih nama negara yang secara teknologi digital


 menggunakan bandwidth serupa dengan yang kita pakai. Misal yang menggunakan bandwidth 8 meter. Di situ ada: Thailand. Nama negara lain sih ada, tapi yang ber-bandwidth 7 m.

Source bisa dari bermacam device: CCTV, DVD player, STB juga (tertulis di manual book) bisa pakai antena langsung. Terdapat pilihan input maupun output. Namun, sekalipun frekuensi output bisa disetel, sayangnya ia hanya bisa mengeluarkan 1 output siaran/konten saja. Sehingga, kalau menginginkan ada tiga atau empat siaran yang di-inject-kan, otomatis dibutuhkan alat modulator sejumlah itu. Tentu kalau demikian yang dimaui, transmodulator lebih mumpuni. ****

Selasa, 08 November 2022

ASO di Surabaya || Kapan❓

SETELAH sempat kurang ada kepastian di tahap 1 dan 2, akhirnya tanggal 2 kemarin ASO juga. Walau bukan secara nasional dan mencakup seluruh Indonesia Raya tanah air beta. Masih Jabodetabek dulu. Tak apalah. Yang penting Jakarta dan sekitarnya sudah. Alhamdulillah lancar. Kalaulah ada stasiun tivi di Jabodetabek yang tetap bersiaran di kanal analog padahal sudah dibilang ASO, rasanya tak perlu merasa terkejut. Bukankah dari awal sudah terbaca stasiun tv mana saja yang kesannya enggan. Bersiaran di jalur analog kesannya sudah menjadi semacam confort zone bagi mereka.

Syukurlah, akhirnya grup tv besar itu nurut. Ikut ASO juga, walau selangkah lebih telat dibanding yang lain. Dengan masih menayang berita: bahwa banyak warga kecewa karena ASO, dengan framing warga, wabil khusus rakyat kecil, belum siap menerima program migrasi ini karena keberatan untuk beli STB, kok rasanya di tivi lain tidak menyiarkan berita itu. Jadi, begini saudara, saudara: berita dan atau sejenis itu yang ditayang di saluran informasi di media-media grup itu, adalah semacam mencari pembenar bahwa siaran analog masih belum saatnya sekarang disuntik mati karena golongan wong cilik masih memerlukannya.

Pada titik ini saya jadi ingat, ada teman di pelosok yang nyeletuk, "Orang kota itu terlalu manja. TV dijadikan digital saja rewel. Belum siap-lah, sosialisasi kurang-lah. Nih, di desa pelosok, di lereng gunung, sinyal televisi dari pemancar gak ada yang tembus. Makanya demi agar bisa nonton televisi, mesti pasang parabola. Dari zaman Mpeg2, lalu ganti Mpeg4, harus ganti receiver, tetap saja beli. Gak nunggu gratisan. Sudah gitu, siaran RCTI, MNCTV, GLOBALTV gak bisa ditangkap pakai parabola secara FTA. Harus bayar. Eh sekarang bosnya bilang perhatian dan peduli sama wong cilik...."

Eh, maaf, maaf kata. Kok jadi agak sengak begini?πŸ˜‡

Dibilang ini terlalu mendadak kok nggak juga. Sejak zaman Menkominfo-nya Pah M. Nuh ini. Kok dibilang mendadak. Makanya HP itu dipakai browsing cari infornasi, jangan dibuat tik-tokan melulu.

ASO Jabodetabek sudah. Dengan imbas harga STB menjadi melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi. Sekarang menunggu kota-kota lain dimatikan siaran tv analognya. Surabaya kanan❓

Secara insfrastruktur sepertinya juga sudah siap, warganya pun relatif siap. Di toko-toko elektronik kecil juga sudah banyak yang jual STB. Bahkan di pasar krempyeng juga sudah ada. Dengan asumsi sekarang ini orang merasa tak berat hati beli kuota internet, padahal cuma bermasa akfif tigapuluh hari, tentu sebuah STB-DVB-T2 yang bisa dipakai jangka lama --bila tak rusak sih😊--, secara harga sepertinya tak terlalu memberatkan, sepertinya lho ya.

Semoga ASO secara nasional segera bisa diterapkan. Bukan sekadar agar siaran tv menjadi clink, namun frekuensi analog sebagai sumber daya yang amat terbatas bisa segera digunakan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat. *****

  



Sabtu, 15 Oktober 2022

Berita TV Berita

MINGGU lalu, dalam mengakhiri membaca berita di KompasTV, Aiman Witjaksono juga pamit. Bukan pamit untuk esok bertemu lagi di Kompas Malam, misalnya. Tapi pamit betulan. Iya, pamit resign dari KompasTV

Orang tv berita pindah-pindah adalah hal lumrah. Lihat CNN Indonesia. Orang-orang dari tv berita, atau paling tidak orang pemberitaan di televisi hiburan, banyak yang ngumpul disana. Mulai Desi Anwar, Putri Ayuningtyas, dan berderet nama lainnya. Kania Sutisnawinata juga pernah hengkang ke Bloomberg tv, dan ketika Bloomberg TV Indonesia cuma bertahan mengudara seumur jagung lalu gulung layar, Kania balik lagi ke MetroTV. Don Bosco Selamun, pun demikian. Pernah di SCTV, lalu ke MetroTV, lalu ke BeritaSatu, lalu balik lagi ke MetroTV.

Banyak nama orang pemberitaan di tv Indonesia, barangkali tak begitu saja bisa lepas dari Karni Ilyas. Misal, saat si pemilik suara serak itu masih pemred di Liputan6 SCTV, Don Bosco masih wakilnya. Rosiana Silalahi, Arief Suditomo atau Ira Kusno, Alvito Deanova, Bayu Setiono masih News Anchor-nya.

Kini  Rossi pemred KompasTV, Arief Suditomo (selepas dari pemred di RCTI dan sempat jadi anggota DPR), sekarang pemred di MetroTV.

Balik ke Aiman. Serara waktu, ia lama di Seputar Indonesia RCTI. Beberapa waktu sebelum ke KompasTV, sempat saya lihat Aiman membaca berita di TVRI. Sayang saya tak sempat memotretnya. Kini Aiman sudah keluar dari KompasTV. Kemana?

Ada adagium di orang-orang perhotelan. Bahwa, orang-orangnya ya itu-itu saja. Muter. Dari hotel satu ke hotel lainnya. Lalu balik kucing ke hotel pertama. Biasa. Lazim. Pun, sepertinya, orang tv juga demikian. Termasuk Aiman. Balik lagi ke Kebun Jeruk. Markas MNC grup. Pegang INews.

Ingin jadi nomor satu itu perlu. Termasuk dengan squad sekuat ini: Tommy Tjokro, Prabu Revolusi dan Aiman Witjaksono. Tapi semua tv berita juga punya asa yang sama. Ingin jadi yang terdepan. Sekaligus terpercaya!

Perlu diingat, pemegang kontrolnya tetap pemirsa. Lewat remote. Juga, pemirsa tahu kok. Mana yang independen, mana tv berita yang partisan. Terlebih, bos besar tv berita itu punya parpol. 

Penelitian yang dinisiasi oleh profesor ilmu politik dari Amerika Serikat, Taberez A Neyasi bersama pakar komunikasi poltik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dan dimuat oleh jurnal Social Media Society menyebutkan, berbeda dengan di negara barat, hoax di Indonesia (kadang) justru disebarkan oleh media mainstream. Nah.

Tetapi, mungkin daya lekat di otak kita memang tak terlalu kuat, sehingga gampang lupa. Misal, tak sedikit orang yang antipati kepada satu media (tv) karena menilai tv tersebut pro ke capres tertentu. Dan pada saat bersamaan pemirsa itu lebih percaya ke tv lain yang diniliai lebih bisa netral berdasar hasrat politik yang sejalan. Padahal, kedua tv (berita) tersebut setali tiga uang. Sama-sama secara tersirat namun kelihatan. Punya capres masing-masing berdasar nalar: bosnya sama-sama orang parpol.

Pemilu kian dekat. Untuk menjadi nomor satu dan dalam menyongsong ingar-bingar gelaran pesta demokrasi, masing-masing tv berita sudah menyiapkan program andalan. Pada yang demikian itu, seyogianya pemirsa juga punya andalan: persikap bijak dan tak gampang jadi korban berita.

Saya: Edi Winarno, salam! (tolong dibaca seperti gaya Aiman Witjaksono saat mengakhiri program Aiman)😊 ****

Selasa, 11 Oktober 2022

Wajah Baru BERITA SATU

TANGGAL 11 Oktober 2022 hari ini, Berita Satu sebagai NewsChannel bertransformasi menjadi BTV. Logonya sih, menurut saya, teramat biasa. Acaranya? Maaf, karena masih sehari, saya belum sempat memperhatikan apa andalannya. 

Sepertinya, BTV tak meninggalkan begitu saja kekuatan news-nya, walau nantinya bisa jadi ia akan menjadi televisi dengan suguhan program yang lebih 'ringan'. Atau bahkan bermodal menayang cuplikan konten YouTube sebagaimana On the Spot-nya Trans|7 dan acara sejenis di televisi lain. Di BTV, program itu (yang masih sering di-re run) bernama Jendela Dunia. Apa itu salah? Secara kaidah ekonomi sah; tak perlu repot bikin, bermodal izin ke pembuat konten, tinggal cuplik, diminati pemirsa, lalu disusul pemasang iklan. Apanya yang salah? Tidak ada. 

Sejauh ini, syukurlah, tak semua stasiun tv menayang program macam itu. 


Balik lagi ke BTV, apakah kehadirannya bisa menyeruak menjadi yang akan dinikmati pemirsa? Ataukah masih bernasib sama seperti Berita Satu yang belum menang saat berlaga di palagan persaingan News Channel dengan lawan tanding macam MetroTV, tvOne, KompasTV, juga CNN Indonesia

Don Bosco Selamun pernah beberapa waktu meninggalkan MetroTV sebagai pemred dan memegang Berita Satu. Sebelum akhirnya balik lagi ke Metro. Tak terlalu unggul, bisa jadi, karena si Berita Satu ini bermain di jalur kabel dan pay tv. Bukan FTA terrestrial sebagaimana news channel lainnya. Sebagaimana Mytv, milik konglomerat Datuk Tahir, yang tak terlalu menonjol di persaingan televisi tanah air. 

Makanya, gebrakan BTV sebagai wajah baru dari BeritaSatu, didahului dengan menggenjot jangkauan siaran terrestrial di banyak kota. Dengan cara, agar cepat, 'bekerjasama' dengan tv-tv lokal di daerah. Misal dengan MaduTV Nusantara.

Sebagai tv lokal Tulungagung yang merambah Kediri dan Surabaya dengan memakai MUX Media grup, menjadikan BTV otomatis bersiaran pula di area tersebut.

Saya tak hendak menerka-nerka model kerjasamanya itu bagaimana, namun terulang lagi tv besar Jakarta memakai tv lokal sebagai 'jalan' untuk memperluas jangkauannya. 

Saya berharap, semoga MaduTV sebagai tv lokal masih bermur panjang. Dan jangan dulu menjadi kenangan macam MHTV, SUNTV, atau SpaceToon di kota ini.****

Sabtu, 01 Oktober 2022

Antena Indor atau Outdor, Mana Lebih Baik?

MEMBACA postingan teman teknisi yang mumet karena mendapati customer yang ngotot tidak mau pakai antena outdor tetapi menuntut semua channel tv digital bisa tertangkap menggunakan antena indor, ada kasihan kepada teman teknisi tersebut.

Bisa jadi si empunya rumah kadung yakin antena indor yang telah dibelinya tersebut memang punya kemampuan menangkap sinyal secara maksimal, walau dipasang di dalam rumah. Bisa jadi keyakinan itu didapat dari penjual antena, lewat iklan misalnya. Atau lewat chat dengan penjual di olshop. Dibumbui video testimoni.

Padahal, daya tangkap antena dipengaruhi banyak faktor. Paling tidak ada ini: letak, arah, dan TKP. Antena indor, bisa menangkap sinyal secara maksimal bila lokasi pemasangan dekat dengan tower pemancar. (Silakan baca artikel saya sebelumnya). Kalau jauh, apalagi kehalang gedung jangkung, tunggu dulu. Antena indor akan kehilangan kesaktiannya. Saatnya antena outdor tampil. Itu pun ketinggiannya harus menyesuaikan. Agar sinyal bisa nyantol. 

Dari sudut estetika, antena indor memang secara design dibuat enak dipandang. Namun bukankah televisi itu yang ditonton adalah siarannya, bukan antenanya? ****

Senin, 05 September 2022

Antena Tipis, Sinyal Ketangkap Maksimal?

"MAS, saya kok tertarik akan beli antena tipis. Yang bisa dilekatkan di dinding, di atas tipi," seorang teman berkata kepada saya. Saya agak ragu, pernyatannya itu bertanya apa bagaimana ya?

"Tapi, apa benar kata iklan itu ya? Setipis itu apa iya bisa nangkap sinyal secara maksimal?"

Nah, yang terakhir itu tentu kalimat tanya. 

Rumah teman saya itu di daerah dekat Juanda sana. Secara jarak, ke stasiun pemancar tv di Surabaya ini lumayah jauh. Dan secara logika, saya paham kenapa ia mempunyai pertanyaan itu; antena setipis itu, semurah itu, bisakah menangkap sinyal dengan maksimal padahal jarak dengan pemancar sejauh itu.

Baiklah. Saya punya pengalaman. Pernah mencoba memakai antena yang ia maksud. Yang setipis kipas tukang sate itu. Secara bentuk sih memang simple. Termasuk sudah dapat kabel bawaan sepanjang 3 meter. Dengan kabel sepanjang itu, asumsinya memang si antena tipis itu cukup diletakkan tidak jauh dari pesawat tivi. Kecuali kalau disambung kabel, sepanjang tiang yang akan dipasang.

Namun, secara desain, sepertinya antena ini memang diperuntukkan dipasang pendek saja. Bukan untuk outdor tentunya.

Ya saya pasanglah begitu saja. Pakai kabel bawaan yang cuma tiga meter itu. Hasilnya, lumayan. Semua sinyal semua MUX bisa ketangkap maksimal. Sebab, saya mencoba pakai antena itu tak jauh dari menara pemancar. Ya sekitar 5 atau 6 kilometer dari pemancar. Sedangkan saya berada di lantai 21 gedung apartement. Tentu saja sinyal muncrat!

Padahal, saat saya pasang di rumah saya, berjarak sekira 15 kilometer dari pemancar, si sinyal tiada nampak batamg hidungnya. Jadi?

Ya, begitulah.****

Jumat, 26 Agustus 2022

ASO = Analog Sulit Off

PAS tanggal 30 April 2022 lalu, saya sudah bersiap melihat reaksi orang-orang ketika siaran tv analog dimatikan. Iya, tanggal 30 April 2022 itu dipilih sebagai tahap pertama pematian siaran tv analog alias ASO (Analog Switch Off). Ternyata oh ternyata, saya --juga beberapa teman 'aktivis' pro ASO-- yang malah kena malu. Sudah kadung gembar-gembor kesana-kemari (kadang sambil jualan STBπŸ™‚) bahwa tanggal itu siaran digital resmi menggantikan siaran analog, ternyata wes ewes-ewes bablas tiada bukti. Dalam artian: siaran analog masih bisa dinikmati. 

Mengacu pada ASO tahap pertama yang tak terealisasi sesuai rencana, pada ASO tahap kedua yang awalnya diketok tanggal kemarin, saya santuy saja. Paling mleset lagi. Dan, begitulah adanya. Hari-hari mendekati ASO, lahirlah istilah Multiple ASO.


Istilah itu berarti acuan ASO tergantung kesiapan para pihak di wilayah layanan siaran. Baik pihak LPS maupun pihak pemirsa. Pada titik itu, bagaimana ya bila, misalnya, LPS menunggu pemirsa punya STB baru mematikan siaran analognya, sementara pemirsa beranggapan 'untuk apa beli STB bila siaran tv (analog) masih bisa dinikmati.' Padahal dengan bersiaran secara simulcast begitu, pihak penyenggara siaran harus mensupply litrik di pemancar analog, juga digital. Boros di konsumsi listrik, iya. Tapi mau bagaimana lagi.

Jadi, apakah batas akhir 2 November 2022 besok ASO serentak bisa dilaksanakan? Harusnya bisa. Karena itu amanat Undang-undang. Karena kalau melanggar, artinya itu sama halnya dengan melanggar Undang-undang. Kecuali, mendekati injury time, UU-nya yang diubah. Ya siapa tahu.😊

Senin, 22 Agustus 2022

MOJI Nama Baru O Channel

ISTILAHNYA rebranding. Penamaan ulang. Pemberian nama baru. Agar apa?

Dalam masyarakat kita, terjadi pemberian nama baru untuk anak yang sebetulnya sudah punya nana, tentu ada tujuannya. Misal, nama lama terlalu 'berat'. Perlu diberi nama baru yang lebih enteng. Agar sesuai. Agar selamat, sehat dan hal-hal baik lainnya. Berarti nama lama kurang baik?

Bukan begitu. Ini sejenis kecocokan. Agar lebih cocok saja.

Perusahaan berganti nama juga biasa. Agar lebih sehat, sekaligus menyesuaikan dengan zaman. Termasuk juga menyesuaikan dengan misi-visi owner-nya. Termasuk nama stasiun tv diubah juga lazim-lazim saja. Misal TPI jadi MNCTV, Lativi jadi tvOne, tv7 jadi Trans|7 dll. Terbaru, O Channel jadi Moji.




Senin, 08 Agustus 2022

Tidak Jadi ASO, Tidak Asoy

SECARA coverage memang belum merata. Kita semua tahu itu. Pun secara jumlah siaran yang bisa ditangkap. Misal, di daerah Jakarta dapat 50 lebih saluran. Di Surabaya baru 29 channel. Di Jember malah agak melas; baru 19. Daerah lain lagi, bisa jadi cuma ketangkap sembilan atau di bawah jumlah itu malah.

Lalu? Semua memang masih dalam proses. Toh garis akhirnya baru tanggal 2 November 2022. Masih ada waktu. Walau itu tak lama. Dari waktu yang tinggal 3 bulan dari sekarang itu, semua masih bisa terjadi. Bukankah bangsa kita (mungkin terbiasa dari zaman sekolah, yang baru ngebut belajar tatkala besok hari ujian) suka bikin kejutan?

Catat: ASO tahap awal yang dijadwal tanggal 30 April kemarin, ternyata meleset dari harapan. Terkejut? Bagi teman-teman saya yang sudah kadung semangat sosialisasi --sambil jualan STB sih, itu tamparan mengejutkan. Dalam artian, bisa dituduh menyebar hoax oleh orang yang sudah telanjur beli set top box kepadanya. 

Padahal yang dikatakan teman saya itu benar, sesusai tahapan yang sudah disebarluaskan resmi oleh kominfo. Kalau lalu meleset, tentu yang bohong bukan teman saya. Entah siapa.

Sekarang bulan Agustus. Dan --sekali lagi-- sesuai jadwal yang dirilis Kemenkominfo, 25 Agustus ini adalah tahap kedua ASO. Sebagai orang yang mukim di Surabaya, harusnya saya berjingkrak senang. Karena Surabaya masuk wilayah yang ikut ASO tahap dua ini. Bersama Makassar dan kota-kota lainnya.

Namun melihat ke sejarah tahap satu kemarin, kok saya jadi kurang yakin tahap dua ini bakal on target. Palingan hanya sebagian kecil dari kota-kota yang harusnya tivi analognya disuntik mati yang betulan dimatikan. Lainnya masih dibiarkan hidup. Entah sampai kapan. Sampai 2 November 2022, atau sampai ....

Terlebih ada kejutan kecil dari LombokTV. Yang kabarnya menang gugatan di MA. Bahwa, tak seharusnya ada kewajiban tv lokal untuk menyewa MUX. 

Berikutnya, O Channel yang sudah lama bersiaran digital di Surabaya, sejak tanggal 1 Agustus kemarin 'turun kasta': malah siaran analog. Simulcast sih. Karena yang digital tetap mengudara. Sementara, di jalur analog, si O Channel ini menempati kanal 46 UHF yang selama ini ditempati BBSTV. Awalnya logo BBSTV masih ada di layar, hanya diturunkan ke kanan bawah, sedangkan logo O Channel bertengger di kanan atas. Namun barusan saya lihat, logo BBSTV sudah tidak ada. Praktis jalur 46 UHF ini dipakai O Channel.

Dalam rangka apa? Adakah itu tanda-tanda ASO akan diundur (lagi)? Atau itu semacam langkah strategis dari Emtek grup untuk mendongkrak rating O Channel. Karena, konon, rating televisi di Indonesia masih berdasar hasil survey AC Neilsen yang disampaikan penonton siaran tv analog, bukan digital. 

Hanya itu selentingan-selentingan yang saya dengar. Selebihnya, berita di ruang publik hari-hari ini didominasi oleh kasus polisi tembak polisi di rumah polisi yang sedang diselidiki oleh polisi. Sekalipun begitu, di layar kaca tetap ada teks yang mengabarkan bahwa semua siaran tv analog akan dimatikan tanggal 2 November 2022. Jadi masih ada harapan. Semoga terjadi betulan. Karena, zaman sudah serba digital begini, masa masih betah nonton tivi dengan gambar yang kepyur bersemut begitu. Kurang asoy kan?*****





Minggu, 19 Juni 2022

1 STB untuk 2 TV Tabung

SATU STB untuk dua pesawat televisi, saya pernah. Artinya bisa. Tetapi ya itu: siaran yang ditampilkan pada masing-masing layar sama, persis. Kenapa? Ya karena memang sumbernya satu. Hanya yang satu pakai kabel RCA, satu tv lagi, yang jenis LED, saya pakai kabel HDMI. 


Karena pada bagian belakang STB memang tersedia dua jenis output itu. RCA dan HDMI. Nah, tempo hari ada penonton Youtube saya yang bertanya hal serupa, bedanya kedua televisinya masih jenis tabung. Yang tentu tidak ada colokan HDMI-nya. Sebagaimana lazimnya tv tabung, colokan yang tersedia hanya jenis RCA. Jadi, apakah bisa dengan memakai satu set top box untuk dua tv tabung?

Kebetulan saya ada jack T/Y RCA to RCA. Jadi langsung dipraktikkan. Saya ambil yang output video saja. Yang warna kuning. Nah, saya pasanglah si T/Y RCA to RCA tersebut di pantat STB. Jadi bercabang. Satu saya pasang untuk tv LED, satu lagi untuk tv tabung. Saya asumsikan keduanya sebagai tv tabung. Kan koneksinya sama: pakai kabel RCA. 

Hasilnya? Bisa. Bisa keluar gambar, bisa berhemat pula. Tetapi ya itu tadi, gambar di layar kedua tv tersebut sama. Ya namanya memang pakai satu STB.

Jack T/Y RCA to RCA

Hanya bermodal jack T/RCA to RCA yang sebiji paling mahal cuma lima ribu rupiah (untuk idealnya butuh tiga biji: audio 2 (putih, merah) video satu (kuning), output audio/video dari STB bisa dicabang.

Nah kalau tv yang satu di ruang tengah satunya lagi di kamar bagaimana? Gampang. Di pasaran ada kok kabel RCA ukuran panjang. Ada yang 5 meter, ada pula yang sepuluh meter.

Simple kan?****

Kamis, 16 Juni 2022

Agar Sinyal TV Digital Maksimal

AMBIL misal di Surabaya ini. Beberapa teman, di tempat berbeda, agak sulit lock siaran MUX Viva grup (antv, tvOne dan ArekTV). Ada beberapa penyebab. Dengan salah satu terduga; power MUX Viva memang belum 'seberapa'. Ini hanya semacam asumsi. Pihak Viva yang lebih tahu pasti. 

Berikutnya: antena.

Ada komentar masuk ke kanal Youtube saya, yang bertanya: "Mas, padahal siaran uang lain dapat, cuma antv, tvOne dan ArekTV yang belum nyantol, kenapa ya?".

Jawaban saya adalah, bila antenanya masih indor, dipasang di dalam rumah, cobalah pakai yang antena outdor. Dengan ketinggian --paling tidak-- lebih tinggi dari ketinggian rumah kita. Atau, lebih tinggi dari benda atau bangunan dimana arah antena kita terarah lurus ke menara pemancar yang kita hendak 'ditembak'. Harus los-dol, tiada penghalang. Bila itu juga sudah, langkah selanjutnya adalah menata arahnya. Geser ke kiri atau ke kanan secara perlahan, sambil dilihat bar sinyal. Di layar tivi. 

Pada remote control biasanya ada tombol info. Tekan itu. Maka muncullah bar sinyal. Yang memampang kekuatan dan kualitas sinyal pada masing-masing MUX.

Misal, kalau sedang mencari alias tracking sinyal MUX Viva, di Surabaya ini ada di 490 MHz / channel 23. Maka kita setting ke frekuensi itu. Betul, kalau istilah mencari sinyal satelit, tahapan itu dinamakan kita sedang memasukkan transponder

Kalau frekuensi MUX alias siaran Viva belum tersimpan pada STB, langkah kita itu sebagai sedang scan manual. Karena kalau pakai mode pencarian otomatis, sinyal yang ditangkap hanya yang jos-jos saja. Sinyal yang 'lemah syahwat'? Lewaaat...

Nah, kembali ke layar tivi. Perhatikan bar sinyal. Lalu tolehkan antena ke kiri, perlahan. Terus. Lagi, pelan-pelan. Kalau belum juga dapat sinyal, coba antena arahnya digeser arah nganan. Perlahan. Terus. Pelan-pelan. Nah, bila ada tampak sebersit sinyal, biasanya ditandai dua atau tiga garis indikator, maksimalkan lagi. Sampai didapat prosentase tertinggi. Niscaya saat ditekan tombol pencarian, bila kekuatan dan kualitas telah termaksimalkan saat tracking tadi, siaran  dari MUX yang kita tuju dapat ter-lock siarannya.

Demikian, semoga berhasil. .****


Selasa, 31 Mei 2022

Antena TV Terbaik

ANTENA Titis TS-1000. Itu antena TV pertama yang saya dapatkan secara gratis dari seorang teman blogger. Dikirim dari mBantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lebih istimewa lagi, antena itu saya terima secara bersih, tanpa biaya. Bahkan ongkir pun dibayar oleh pengirim. Sebagai sesama penikmat siaran tv digital, kami serasa akrab walau tak sekalipun pernah kopdar. Waktu itu belum seperti sekarang. Gaung migrasi alias ASO (Analog Switch Off) masih sayup-sayup. Timbul-tenggelam. Pihak LPS kesannya juga masih ogah-ogahan. Dengan bermacam alasan. Pihak yang rajin menayangkan iklan tentang migrasi televisi digital, seingat saya, waktu itu cuma TVRI.

Kini, sekian belas tahun kemudian, sudah berbeda keadaannya. Televisi swasta sudah pada rada injak gas. Simulcast dimana-mana. Dengan si Modi, maskot ASO ditampilkan di sudut layar kaca. Sekalipun begitu, siaran analog LPS itu juga tetap bening, dimana-mana. Sehingga, "Siaran analog masih bisa dinikmati kok, nanti saja kalau sudah tidak ada, baru aku beli STB", begitu kata teman saya yang tinggal di Kediri.

Intinya: menunggu. Saat siaran tv analog benar-benar disuntik mati. Yang jadwalnya sudah jelas itu. Walau, disini, apa-apa yang sudah jelas pun bisa saja dikoreksi. Termasuk tentang program migrasi ini. (baca juga: ASO Diundur (LAGI!)

Kembali ke soal antena. Rupanya si Titis TS-1000 itu bukan antena terakhir yang saya dapatkan secara gratisan. Ada merk PX yang juga menambah koleksi antena saya. Walau si produsen PX mengajukan syarat, saya harus bikin konten tentangnya. Semacam barter. Ya, endorse-lah.

Tentu saja saya juga beli antena. Ada merk Paramount Gold, ada juga Venus Cabai Rawit. Termasuk si 'eplek-eplek' setipis kertas Taffware-D139

Dan tempo hari saya mendapat kiriman antena lagi. Ini antena hand made, dari sahabat Youtuber Madiun. Tanpa merk. Tetapi, melihat bentuknya, antena itu amat pantas disebut sebagai antena layang-layang.

Yang buatan pabrikan tentu tampak lebih rapi. Lalu ada semacam rangkaian elektronika entah apa namanya tersemat di dalamnya. Maaf, saya awam tentang hal itu. Sementara, si layang-layang ini tampil polos. Terbuat dari pipa alumunium yang dibentuk seperti layangan, dan untuk pemasangan kabel coaxial hanya dililitkan di bagian ekor secara menyilang. Ujung kabel serabut di satu sisi, ujung kabel tunggal di sisi lainnya. Sudah. Gitu aja. Sama sekali tak repot.

Lalu antena yang mana yang punya performa terbaik dalam menangkap sinyal?

"Intinya antena televisi itu yang penting dapat menangkap sinyal secara maksimal, yang membuat siaran tivi bisa dinikmati secara bening. Tak ada apa itu antena digital. Itu hanya istilah dagang saja, agar bisa dijual mahal", seorang teman berargumen. Yang kedengarannya itu masuk akal bagi saya yang awam ini.

Tentu pembuat antena, entah itu industri rumahan maupun pabrikan besar, masing-masing punya rumus agar si antena dapat menangkap sinyal secara maksimal. Namun, "Bikin konten itu yang kreatif dikit napa? Misalnya bikin antena berbahan alumunium foil bekas bungkus rokok kek...", seorang teman berkirim wasap kepada saya. Rupanya ia barusan nonton konten yang saya unggah di Youtube sekian jam sebelumnya.

Asem tenan! Sudah tahu saya ini nul-puthul elektronika kok dipanasi begitu. Baiklah. Kalau dia pernah bikin antena berbahan dua kaleng bekas kemasan minuman bersoda, dengan hanya menyambung kabel koaksial di dua kaleng tersebut, sepertinya saya juga bisa. Seperti halnya dua seng bekas plat nomor bisa dibikin antena sebagaimana pernah saya lihat di Youtube


Bismillah. Saya buat. Bukan dari kaleng atau plat nopol bekas, tapi dari bahan yang ada di tool box saya. Kebetulan ada potongan seng kecil, juga ada gergaji besi yang sudah tugel, tinggal separo. Saya kasih kabel antena. Jadi deh. Hasilnya? Bisa juga tuh menangkap sinyal digital!

Dengan demikian, kalau ditanya: antena yang terbaik adalah; antena yang dapat menangkap sinyal secara maksimal. Tak peduli itu buatan pabrik dengan merk terkenal, atau hanya antena abal-abal. 

Bagaimana pendapat Anda?

Salam tv digital dari Surabaya!****





Rabu, 18 Mei 2022

STB Recommended

TADI pagi saya ditelepon teman sekolah dulu. Yang kini mukim di Jakarta. Yang sudah sekian puluh tahun tak pernah berjumpa. Wasap-lah yang menjadikan kami saling sering mengintip. Obrolan teman. Di grup wasap alumni sekolah kami. Angkatan dahulu kala.

Selain mengintip obrolan teman lain, rupanya dia juga mengintip sosmed saya. Mungkin blog ini, atau kanal Youtube saya. Dan kata sebuah ungkapan, bicaralah tentang satu topik tertentu, kapan saja, niscaya orang akan mengenalmu sebagai orang yang tak jauh dari yang selalu kau obrolkan itu. Dengan kata lain, itulah yang dinamakan personal branding.

Maka ketika si teman saya itu minta wangsit kepada saya tentang STB apa yang menurut saya patut direkomendasikan untuk dibelinya, itu semacam efek dari personal branding tersebut. Bahwa dia mengenal saya sebagai yang sering saya bahas. Padahal, jujur saja, saya ini tak ahli dalam hal elektronika begitu. Baik software maupun hardware. Pokoknya saya ini nul-puthul

Benar memang, saya pernah mencoba memakai beberapa merk STB. Menurut saya, nyaris semuanya setali tiga uang. Mirip-mirip saja. Tampilan fisiknya, juga tampilan di layar saat STB dihidupkan. Sebagai yang gak paham, tentu saya menghindarkan diri untuk membandingkan antara satu STB dengan STB merk lainnya dari sisi dalemannya, chipset-nya, software-nya dan sejenisnya.

Sampai disini saya malah punya asumsi, jangan-jangan beberapa merk STB itu diproduksi oleh satu pabrik yang sama. Kecuali merk-merk ternama. Jangan-jangan STB-STB itu seperti saat dulu kita dibanjiri oleh motor buatan China. Ada Sanex, Jialing, Dayang dan banyak lagi merk yang lainnya. Kalau untuk bikin motor saja mereka bisa, untuk bikin STB tentu hal kecil dan tinggal pesan: mau dikasih merk apa. (Maaf, ini asumsi saya lho ya😊).

Kembali ke pertanyaan teman saya tadi, STB yang patut direkomendasikan tentu idealnya adalah yang secara spesifikasi sudah sesuai regulasi yang diterapkan di sini. Misal, sudah SNI. Sudah support EWS (Early Warning System). Perkara lalu STB itu bisa untuk Tiktok, Youtube dll saya pikir itu sebagai pemanis buatan saja. Karena, menurut saya, layar televisi laiknya dinilai sebagai sarana hiburan bersama. Bukan untuk dinikmati sendirian sebagaimana ponsel pintar. 

Jadi? Maaf, ini menurut saya lho ya --dan Anda tidak sependapat juga tak apa-- STB-T2 itu 'hanya' perangkat untuk agar kita bisa melihat siaran digital sementara pesawat tivi kita masih analog. Itu saja. Sehingga STB yang sesuai tentu yang tak jauh dari itu. Agar bisa untuk nonton tivi digital. Perkara merk, ada banyak dengan rentang harga yang tak terpaut jauh. Misalnya di pasaran banyak sekali dijual aneka merk mulai Matrix, Venus, Kaonsat, Evinix, Luby, Intra, Hinomaru, Welhome dll. dengan bermacam varian dan fiturnya. 

Contoh salah satu merk STB
yang ada di pasaran.

Namun saya perhatikan, justru merk ternama di jagad elektronika Indonesia macam Polytron, Akari atau Sharp yang belakangan ikutan memproduksi STB juga, pada produk STB-nya justru tak mengandung banyak fitur. Malah kesannya standard dan minimalis sekali. Ya itu tadi, asal bisa untuk nonton siaran tv digital terrestrial pakai pesawat yang masih analog. 

Secara after sales sarvice, tentu merk-merk yang saya sebut belakangan tadi lebih jelas dimana alamat  Service Center-nya. Namun, dengan harga baru yang di kisaran dua ratus ribuan, kalau layanan purna jual tempat dimana kita bisa memperbaikkan STB kalau terjadi kerusakan itu jauh letaknya, tentu perlu dipikir ulang. 

Walau tak semua tukang service TV menerima jasa perbaikan STB, bila beruntung kita bisa memperbaikkan STB kita yang rusak, yang tak jelas dimana Service Center-nya itu kepada mereka. Ongkosnya?

"Kalau setelah saya cek kerusakannya, lalu beli pengganti part yang bermasalah ditambah biaya jasa perbaikannya mendekati setengah harga kalau beli baru, biasanya saya sarankan untuk beli baru saja," demikian kata teman saya yang cukup expert di bidang perbaikan STB (baik S2 maupun T2).

Padahal, namanya juga barang elektronika, ibarat kata ya cuma mujur-mujuran saja. Ambil misal, saya beli STB merk Venus Cabai Rawit, sudah hampir dua tahun saban hari saya nyalakan sampai saat ini tetap sehat wal afiat. Sedangkan punya tetangga saya, dengan merk dan type yang sama dan waktu pembelian yang tak tepaut jauh, baru dua bulan pemakaian sudah tewas duluan.

Simpulan dan rekomendasi STB dari tulisan sepanjang ini adalah: belilah STB sesuai kebutuhan sekaligus sesuaikan dengan budged-nya. Perhatikan fiturnya, kalau itu penting, pertimbangkan. Kalau tak perlu fitur itu, pilih yang standard saja. Kalau sudah, berdoalah. Semoga awet STB-nya.***



Kamis, 12 Mei 2022

ASO Diundur (LAGI) !?

SEJAK kapan kita punya budaya tepat waktu?

Ah, janganlah begitu. Tetapi saya jadi ingat iklan pada baliho-baliho di jalan-jalan utama. Iklan itu, Anda tahu, adalah kalimat usil nan nylekit walau kadang --sambil nyengir-- kita mau tak mau mengiyakannya. Betul, iklan itu memang dari sebuah produk rokok. Namun pesan yang ditampilkan, bagi siapapun kadang sungguh menohok.

Misal, bunyinya begini: Alasan adalah Kunci Jawaban.

Saya tak hendak menantang debat siapapun. Namun, bangsa kita memang boleh kalah dari negara manapun untuk sepakbola atau bulutangkis, umpamanya. Namun untuk urusan mencari alasan, tunggu dulu. Mari kita lestarikan lagunya Dewi Lestari: 🎼🎡...malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya...🎢🎢

ASO ini pun demikian. Sudah sejak lama dicanangkan. Tahapan-tahapannya. Daerah ini ikut tahap pertama, daerah lain menyusul berikutnya. Rapi jali. Planning-nya. Pas hari H?

Tanggal 30 April 2022 kemarin yang secara jadwal ada sekian ratus daerah yang mestinya tv analognya dimatikan permanen, ternyata realisasinya tidak demikian. Sebagian besar daerah itu tv analognya masih mengudara. Sampai saat ini belum (di)mati(kan). ASO diundur (lagi untuk ke sekian kali)?

Bukan diundur, tetap sesuai road map. Tetapi daerah yang ASO-nya ditunda itu, adalah daerah yang secara kasuistis dinilai kurang siap. Baik insfrastrukturnya, maupun ketersediaan STB-nya. Termasuk komitmen pihat LPS dalam memberi STB gratis bagi masyarakat di daerah tersebut. Dan bagi yang sudah siap, tetap jalan. Analog dimatikan.

Baca pelan-pelan. Itu penjelasan, gaess. Janganlah semua dinilai sebagai suatu alasan. Walau tidak disebutkan, ada lho masyarakat yang sudah secara suka rela beli STB sendiri tanpa menunggu pembagian gratis. 

"Lumayan, Mas. Sehari rata-rata laku 50 unit," kata teman saya di Ngawi yang di toko elektroniknya juga berjualan STB.

Dengan kata lain, ada masyarakat yang sudah siap ASO mandiri, demi bisa mononton siaran tivi bebas semut. 

Hal lainnya adalah, kalau sampai sekarang masih ada yang kurang ngeh apa itu ASO, dengan demikian, maka: apakah sosialisasinya yang kurang berhasil, ataukah orangnya saja yang kudet. Misal, ada lho yang menganggap ASO ini menyangkut juga siaran TV kabel. Dari kelas ecek-ecek yang banyak sekali beroperasi di daerah-daerah dengan kategori siaran tivi tak bisa dinikmati pakai antena UHF, sampai penyedia layanan tivi kabel sekelas LinkNet. Padahal, tidak begitu, Ferguso. Beda. Tidak sama alias mboten sami!


Benar memang, LinkNet dan seabreg penyedia jasa tivi kabel di daerah-daerah, di era digital ini masih ada juga yang 'jualan' siaran analog. Nah, apakah siaran analognya itu juga dimaksud dalam ASO yang sedang kita bicarakan? Sekali lagi: ya tidak! Beda jalur.

ASO yang digagas pemerintah adalah yang pakai frekuensi yang dipancarkan via stasiun transmisi. Yang pakai tower pemancar itu. Yang harus ditata. Agar tidak boros bandwidth. Yang mana spektrum frekuensi itu nanti, setelah semua tv tertata bersiaran di kanal digital, akan dialokasikan untuk internet.  Sementara siaran tivi kabel disalurkan melalui kabel, bukan dipancarkan melalui menara pemancar yang frekuensinya mutlak diatur ketat oleh pemerintah.

Nah, jelas sudah. Walau nanti semua kanal televisi di Indonesia sudah migrasi ke jalur digital, kalau pihak tv kabel (macam LinkNet, misalnya) masih 'jualan siaran analog' ya gak ngaruh. Sepanjang ada yang berlangganan. Kalau lalu LinkNet menawarkan siaran digital kepada pelanggannya, sekali lagi, itu tidak ada hubungannya dengan program ASO / Analog Switch Off. Itu hanya murni ilmu jualan. Bahwa, kalau mau konten yang digital, harga berlangganannya juga mesti naik. Begitu. Sesimple itu.

Lagian, program migrasi dari analog ke digital yang dijalankan pemerintah itu adalah untuk mengatur dan menata frekuensi siaran televisi baik LPP (Lembaga Penyiaran Publik --TVRI) maupun LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) yang jumlahnya sekarang sudah 700 lebih. Ingat, itu semua adalah siaran FTA alias Free to  Air. Yang gratis, tis, tis. Bukan konten siaran milik pay tv macam HBO, StarSport, Fox, National Geographic, Waku-waku Japan dan sejenisnya.

Bagaimana?  ****