Minggu, 02 April 2023

Kotak Hiburan itu Kini Kuno

TIADA putusnya keinginan orang, pun tiada hentinya pula orang memenuhinya. Apa saja. Dari kapal induk terbaru, tercanggih sampai mobil listrik teririt dalam menyedot battery. Sampai ponsel, juga televisi.

Dulu kalau ada orang beli pesawat tivi, yang ada rak atau bufetnya, ada kakinya, ada pintunya. Orang sekampung yang ikut senang. Padahal itu cuma tivi hitam-putih, yang agar berwarna maka dibelikanlah lapisan mika berwarna-warni di depannya. 

Saya mengalami masa-masa itu. Ketika jumlah orang sekampung yang punya pesawat tivi bisa dihitung jari, itu pun jari sebelah tangan. Yang kalau malam, para tetangga berdatangan, numpang nonton. Namanya numpang, ya harus sabar. Pun saat kekuatan aki tinggal tak seberapa. Maka saat acara yang tak disuka ditayangkan, tak perlu pula tv dinyalakan. Hemat daya. Agar saat Galarama atau acara ketoprak Siswo Budoyo disiarkan, strum aki masih mumpuni. Bukan malah gambar jadi mbangkik, mengecil di tengah, pertanda daya aki sudah terengah-engah mensuplai daya tv berukuran 14 inchi.

Kini, nyaris setiap rumah mempunyai pesawat televisi, bahkan lebih dari satu. Itu pun belum cukup. Seperti halnya ponsel, pesawat tivi pun dipintarkan. Di-smart-kan. Semua fitur yang diinginkan penonton (kadang kebablasan, sampai ke fitur yang tak diinginkan) semua ditanamkan. Hanya kompor gas dan kulkas saja yang gak ada.

Cukup? Mana pernah begitu.

Di saat begini, hadirlah ASO. Siaran tivi analog disuntik mati dengan dosis suntikan yang manjur, walau awalnya jadwal ASO-nya sering diundur. 


Bagi sebagian orang sih kurang ngaruh, toh sudah punya tv pintar. Pun bagi yang biasa berlanggganan tivi berbayar. Yang gambar tivinya memang sangat bening, bebas semut. Dengan beragam acara yang ada. Ohya, itu kan bayar. Yang ini gratis, tis, tis...

Saya bertanya kepada beberapa orang, mengenai matinya siaran tivi analog ini. Yang terbaru di area Bali, juga Palembang.

"Gak terlalu heboh, Mas. Saya dan tetangga kanan-kiri banyak yang tivinya sudah support digital, jadi ya tetap bisa nonton tivi", kata Mas Sus, pria asal Tegal, Jateng, yang sudah cukup lama menetap di Bali. Saya kenal baik dengan pria ramah ini karena dulu, saat saya ada tugas kerja di Bali, dia sering antar atau jemput saya di Ngurah Rai.

Lain halnya dengan Komang Suwarda. Pria yang hobi bertandang ke tempat tajen ini mengatakan, orang-orang di lokasi tajen (sabung ayam, dengan kaki ayamnya dipasang semacam belati kecil) malah masih geram dengan gubernurnya. "Disini orang masih ngomongin Pak Koster. Masyarakat banyak yang kecewa. Mereka menilai statement pak gubernur dituding ikut sebagai biang batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia. Ndak ada orang ngomongin siaran tivi dimatikan", terang Bli Komang dengan kalem.

Lain lagi dengan Pak Made Suwastika. Pria yang sehari-hari mengemudikan mobil antar-jemput anak sekolah ini mengaku, tidak bisa nonton televisi lagi. 

Saya sempat memandu via panggilan video untuk melakukan pencarian pada pesawat televisinya. Namun apa daya, baik pencarian otomatis maupun manual, tetap zonk hasilnya. Ternyata oh ternyata, televisi LED merk LG miliknya itu belum digital. "Sudah lama sih ini belinya", terangnya. 

Saya lalu menghubungi Pak Ngurah yang tinggal di dusun Bugbugansari, desa Senganan, kecamatan Penebel. Dusun asri ini berjarak sekira 25 kilometer dari kota Tananan, ke arah Jatiluwih.

"Saya gak repot, Mas", jawabnya sambil tertawa. "Saya gak hidupin tivi. Gak punya alatnya. Saya lihat HP saja".

"Iya pak", sahut saya. "Kalau nonton HP kan banyak pilihannya. Mau lihat berita ada, olahraga ada, masak-masak juga ada. Kalau tivi?" pancing saya.

"Tivi itu ketinggalan zaman, Mas. Sudah kuno..." sahutnya sambil terkekeh.

Saya ikut tertawa. Saya kurang tahu apa merk dan type ponsel Pak Ngurah. Tetapi saya yakin, pegangannnya itu sudah berkelas smartphone, telepon pintar. Sementara, keyakinan saya yang lain, pastilah pesawat televisi di rumah Pak Ngurah masihlah belum berjenis smart-tv.

Bagaimana dengan Anda?*****

Kamis, 22 Desember 2022

ASO Surabaya dan Harga STB

SAYA setel alarm. Saya ingin bangun 10 menit sebelum siaran televisi analog dimatikan, Selasa lalu. Atau sudah masuk hari Rabu ya. Saya ingin melihat detik-detik gambar siaran televisi analog untuk terakhir kali. 

Entah kenapa, setelah beberapa kali tertunda, kali ini saya yakin. Bahwa siaran televisi analog akan benar-benar dimatikan. Rupanya, ada beberapa yang berpendapat beda. Menengok yang sudah-sudah, si berbeda ini masih berpendapat: pasti ASO alias Analog Switch Off tak jadi lagi! Ditunda lagi.

Sebuah keyakinan yang keliru ternyata. Karena, sekian detik setelah pukul 00.00, satu per satu siaran televisi analog di Surabaya menemui ajalnya. Menyusul kanal analog TVRI Surabaya yang 'bunuh diri' eh, ASO duluan ding.

Rabu pagi, yang saya duga terjadi. Orang-orang yang belum beli STB pada nggrundel, mengeluh. Sambil sesekali mencari kambing hitam. 

Sebagian --dengan nada agak miring-- ada yang menduga ini 'kerjaan' si itu atau si anu. Halpada alias padahal, ini program luama yang terkesan alotnya minta ampun untuk diwujudkan. Untuk yang nyetatus di sosmed dan berpendapat program migrasi ini sosialisasinya kurang, dikomentari oleh teman saya: kamu tidurnya kurang miring!

Saya tadinya berharap pemirsa yang belum punya STB dan televisinya belum support digital melihat pengalaman ASO di Jabodetabek atau Bandung, Yogya, Semarang. Bahwa, STB akan jadi buruan. Maka, baiknya sedia payung sebelum hujan. Beli STB duluan sebelum siaran analog dimatikan. Agar apa? Ya agar mendapatkan STB dengan harga wajar. Yang harganya belum naik-naik ke puncak gunung tinggi tinggi sekali.

Sekarang sudah kadung, sudah telanjur. STB kisarannya sudah di harga 250 bahkan 350 ribu, untuk jenis dan type yang sebelumnya hanya di bawah 200 ribu. Dan, orang-orang pada berebut. Walau tak sedikit di sosial media yang bilang 'sekarang bukan zamannya orang nonton tivi konvensional, saat ini zamannya Youtube, TikTok dan siaran streaming'. Ternyata mbelgedhes. Orang sebagian besar tetap nonton televisi yang gratisan. Buktinya STB --apa pun mereknya dan berapapun harganya-- laris manis di pasaran.

Balik ke siaran tivinya. Setelah ASO, di area Surabaya MUX Viva (yang dihuni antvtvOneSportOneNET.HD dan ArekTV) langsung gercep tancap gas di kanal baru. Yang tadinya di ch. 23, kini ada di 32. Metro yang di 25, kini menghuni channel 38. Tentu karena masih transisi, frekuensi lama tetap mengudara, walau secara power, frekuensi baru lebih jos-markojos. Nantinya Trans juga akan boyongan ke kanal 44, dari frekuensi transisi di ch. 27. Kapan? Ditunggu saja! ****

Minggu, 11 Desember 2022

SurabayaTV, Matahari Mati Suri?

SAAT Anda membaca tulisan ini tentu telah berbeda hari dari saat saya menuliskannya. Saat dimana mungkin telah terjadi suntik mati siaran tv analog di Surabaya. Ketika saya membuat tulisan ini, ASO (Analog Switch Off) di Surabaya dan sekitarnya (area Jatim-1; mencakup wilayah Gerbangkertasusila juga sebagian Pasuruan), secara hitung mundur kurang sembilan hari.

Secara waktu, tentu sembilan hari itu pendek sekali. Dibanding rentang panjang 'peta jalan' dimulainya migrasi ini. Sejak zaman menkominfonya pak M. Nuh. Hari ini, kalaulah ada pemirsa yang belum siap (tvnya masih belum digital, tak jua segera beli STB), kelompok ini akan tak bisa menyaksikan siaran tv setelah tanggal 20 Desember nanti.

Secara jumlah stasiun tv yang saat ini telah bersiaran digital di Surabaya terbilang sudah komplet. Dalam artian tv yang selama ini bersiaran analog. Lebih malah. Karena ada stasiun tv yang tidak ada di analog kini mengudara di kanal digital. Ambil misal CNN Indonesia, CNBC, Magna, BNtv, TVRI Sport, TVRI World, MaduTV dll. Juga ada tv lokal yang secara analog menghuni frekuensi 44 analog, yang sekian lama kurang terdengar kabarnya, sekarang muncul lagi. Tidak lagi di jalur analog, tetapi bersiaran di kanal digital. Ikut MUX-nya TVRI di channel 35 UHF. Ya, Anda betul: SurabayaTV.

Acara musik Jawa 
di SurabayaTV

Secara afiliasi jaringan, SurabayaTV adalah dari kelompok Indonesia Network-nya BaliTV bersama BandungTV, SemarangTV dan entah tv mana lagi. Namun dimana-mana, entah sampai kapan, taring sekaligus rating tv lokal kalah tajam dari tv nasional. Kualitas konten menjadi salah satu senjata tumpul tv lokal melawan dominasi konten tv nasional. Yang secara kapital memang lebih unggul. Benar, bisnis tv adalah bisnis yang mengandalkan kreatifitas. Dan, sebuah ide dari tim kreatif yang kemudian dieksekusi menjadi konten siaran, membutuhkan modal cuan yang cukup agar saat ditayangkan terlihat yahud. 

Tentu ada tv lokal yang sanggup mencari celah agar mampu menyelinap dan tampil di antara jajaran dan jor-joran program tv nasional. Ambil misal Jtv. Ia stasiun tv lokal yang punya program andalan dan cukup dikenal. Ada Pojok Kampung di segmen berita, juga ada Stasiun Dangdut di musik. MaduTV dan tv9 tentu telah punya segmen pemirsa tersendiri, dengan konten siaran andalan yang kita telah tahu sendiri. Sementara untuk ArekTV, BBSTV dan JawaPos tv (dh. SBO) kok saya belum menemukan program yang menjadi semacam killer content-nya.

Bagaimana dengan SurabayaTV? TV ini sebenarnya telah lama ada. Di jalur analog, di Surabaya. Namun sayangnya adanya, seperti tak adanya. Dalam artian, sekian lama ia seperti mati suri. Secara izin masih hidup, secara siaran ia mati. Kini SurabayaTV telah muncul dengan kualitas gambar yang bersih, suara yang jernih dengan teknologi lebih canggih. Ya, seperti tagline-nya si Modi.

Namun bagaimana program siarannya? Akankah ia sanggup membuat konten yang bisa menawan sekaligus menahan pemirsa agar tidak segera menekan tombol remote control untuk berpindah ke saluran lain?

SurabayaTV mempunyai slogan yang cukup mbois: Matahari dari Surabaya. Semoga 'matahari' itu selalu bersinar di kota pahlawan ini. Mampu menembus bayang-bayang kelabu acara (yang sebenarnya) kurang bermutu dari tv swasta nasional, namun anehnya banyak yang suka.*****


Rabu, 07 Desember 2022

Akhirnya Surabaya ASO Juga...

BEBERAPA hari yang lalu sempat tersiar kabar bahwa ASO (Analog Switch Off) di area Jatim-1 (Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan, Gresik, Lamongan) akan dilaksanakan pada tanggal 16 Desember. Jam 24.00 WIB. Kabar itu sempat beredar di kalangan pemerhati siaran tv digital. Walau, akhirnya kabar itu kemudian menjelma menjadi seperti kabar burung.

Di kalangan pemirsa awam, tentu tak begitu antusias mendengarnya. Namun, bagi kalangan pemerhati, ada analisa yang masuk akal. Bahwa tak mungkin ASO dilaksanan tanggal 16. Kenapa? Bukankah final ajang Piala Dunia baru akan digelar tanggal 18 Desember. Bisa dibayangkan, betapa akan terjadi semacam 'kekacauan' bila penggila bola tiba-tiba tidak bisa menyaksikan laga final pesta bola paling akbar sejagad raya itu.

Betul, bagi gibol yang televisinya sudah digital dan atau memang sudah biasa menyaksikan siaran live World Cup via jalur (berbayar) lainnya, tentu tak masalah. Namun bagi pemirsa yang hanya mengandalkan tayangan gratisan via siaran televisi (analog), bila siarannya dimatikan, tentu akan misuh-misuh --walau dalam hati. 

Menghindari hal itu, maka diambil keputusan: ASO di area Jatim-1 dilaksanakan tanggal 20 Desember 2022. 

Apakah akan lanjay alias lancar jaya dan tanpa gejolak? Semoga demikian. Walau, bisa juga terjadi satu-dua pemirsa tv yang selama ini santuy dan kurang peduli walau di layar kaca acap dipampang sosialisasi tentang program migrasi ini, saat tv analog benar-benar disuntik mati akan mengomel dan menyalahkan sana-sini dibumbui argumentasi versinya sendiri.

Hal lainnya lagi adalah, seperti halnya terjadi tempo hari di Jabodatabek dan kemudian juga di Semarang, Bandung, Yogya: orang ramai-ramai mendatangi toko elektronika untuk membeli STB. Di saat seperti panic buying begitu, jangan tanya harga STB. Naik gila-gilaan. 



Barusan saya membaca wasap teman, bahwa stok STB di pasar Genteng Baru Surabaya menipis. Pasalnya tempo hari sempat diborong orang dari Semarang. Sepertinya akan dijual lagi untuk memenuhi tingginya permintaan STB setelah ASO disana.  Nah, nah. Kalau di pasar Genteng yang nota bene adalah pusat peralatan antena dan reciever DVB-S2 maupun DVB-T2 stok menipis, alamat toko-toko elektonik lainnya akan diserbu pemburu STB. Hukum lainnya adalah, bila demand lebih besar dibanding supply, tentu harga akan melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi. 

Makanya saya bilang, saat tepat beli STB adalah sekian tahun yang lalu. Di kala harganya masih wajar. Ada STB yang harganya 160 ribu atau paling banter 200 ribu. Tetapi kini bukan sebagai nasi telah jadi bubur, namun mau tidak mau, bagi orang yang pesawat tv-nya belum digital, selain beli tv baru yang sudah ber-tuner digital, ya harus pakai STB. 

Bagaimana dengan pesawat televisi Anda?****

Sabtu, 19 November 2022

Evinix DM-01 || Digital Modulator

AWALNYA, layanan siaran tv kabel di tempat kerja saya ini masih analog. Kini sudah migrasi ke digital. Istilahnya ASO, Analog Switch Off. Tentu ada beberapa konsekuensi. Misal, bagi pesawat televisi yang belum ber-tuner digital, agar bisa menerima siaran mesti ditambah perangkat Set Top Box. Iya, persis di siaran digital terrestrial. STB-nya juga sama. Bedanya, frekuensi digital pada tv kabel sinyal dirambatkan pakai jaringan kabel. Sedangkan untuk terrestrial sinyal ditransmisikan memakai gelombang yang dipancarkan dari menara pemancar.

Konsekuensi lainnya adalah bila sebelumnya kami bisa meng-inject CCTV kini tak bisa lagi. Karena jaringan CCTV kami masih analog. Maka dibutuhkan perangkat tambahan: Modulator digital. Karena kalau pakai trasmodulator, walau secara fitur lebih oke, dibanding modulator harganya pun juga berlipat ganda.

Maka kami mengajukan pengadaan modulator saja. Sebiji. Itu pun harganya sudah lebih dari dua jeti. Merk-nya Evinix, typenya DM-01. Toh cuma pakai untuk CCTV. Itu pun nanti. Karena tugas awal si modulator di waktu ini adalah ke Qatar dulu.

Secara bentuk, modulator ini seukuran STB. Dengan cara setting yang tak seberapa rumit, walau pilihan bahasanya tak ada yang bahasa Indonesia.

Display dan tombol ada di bagian atas. Terdapat beragam menu. Setel frekuensi, penamaan channel dan pilihan negara dll. Yang lagi-lagi tiada nama Indonesia. Tak soal. Kita bisa pilih nama negara yang secara teknologi digital


 menggunakan bandwidth serupa dengan yang kita pakai. Misal yang menggunakan bandwidth 8 meter. Di situ ada: Thailand. Nama negara lain sih ada, tapi yang ber-bandwidth 7 m.

Source bisa dari bermacam device: CCTV, DVD player, STB juga (tertulis di manual book) bisa pakai antena langsung. Terdapat pilihan input maupun output. Namun, sekalipun frekuensi output bisa disetel, sayangnya ia hanya bisa mengeluarkan 1 output siaran/konten saja. Sehingga, kalau menginginkan ada tiga atau empat siaran yang di-inject-kan, otomatis dibutuhkan alat modulator sejumlah itu. Tentu kalau demikian yang dimaui, transmodulator lebih mumpuni. ****

Selasa, 08 November 2022

ASO di Surabaya || Kapan❓

SETELAH sempat kurang ada kepastian di tahap 1 dan 2, akhirnya tanggal 2 kemarin ASO juga. Walau bukan secara nasional dan mencakup seluruh Indonesia Raya tanah air beta. Masih Jabodetabek dulu. Tak apalah. Yang penting Jakarta dan sekitarnya sudah. Alhamdulillah lancar. Kalaulah ada stasiun tivi di Jabodetabek yang tetap bersiaran di kanal analog padahal sudah dibilang ASO, rasanya tak perlu merasa terkejut. Bukankah dari awal sudah terbaca stasiun tv mana saja yang kesannya enggan. Bersiaran di jalur analog kesannya sudah menjadi semacam confort zone bagi mereka.

Syukurlah, akhirnya grup tv besar itu nurut. Ikut ASO juga, walau selangkah lebih telat dibanding yang lain. Dengan masih menayang berita: bahwa banyak warga kecewa karena ASO, dengan framing warga, wabil khusus rakyat kecil, belum siap menerima program migrasi ini karena keberatan untuk beli STB, kok rasanya di tivi lain tidak menyiarkan berita itu. Jadi, begini saudara, saudara: berita dan atau sejenis itu yang ditayang di saluran informasi di media-media grup itu, adalah semacam mencari pembenar bahwa siaran analog masih belum saatnya sekarang disuntik mati karena golongan wong cilik masih memerlukannya.

Pada titik ini saya jadi ingat, ada teman di pelosok yang nyeletuk, "Orang kota itu terlalu manja. TV dijadikan digital saja rewel. Belum siap-lah, sosialisasi kurang-lah. Nih, di desa pelosok, di lereng gunung, sinyal televisi dari pemancar gak ada yang tembus. Makanya demi agar bisa nonton televisi, mesti pasang parabola. Dari zaman Mpeg2, lalu ganti Mpeg4, harus ganti receiver, tetap saja beli. Gak nunggu gratisan. Sudah gitu, siaran RCTI, MNCTV, GLOBALTV gak bisa ditangkap pakai parabola secara FTA. Harus bayar. Eh sekarang bosnya bilang perhatian dan peduli sama wong cilik...."

Eh, maaf, maaf kata. Kok jadi agak sengak begini?😇

Dibilang ini terlalu mendadak kok nggak juga. Sejak zaman Menkominfo-nya Pah M. Nuh ini. Kok dibilang mendadak. Makanya HP itu dipakai browsing cari infornasi, jangan dibuat tik-tokan melulu.

ASO Jabodetabek sudah. Dengan imbas harga STB menjadi melambung jauh terbang tinggi bersama mimpi. Sekarang menunggu kota-kota lain dimatikan siaran tv analognya. Surabaya kanan❓

Secara insfrastruktur sepertinya juga sudah siap, warganya pun relatif siap. Di toko-toko elektronik kecil juga sudah banyak yang jual STB. Bahkan di pasar krempyeng juga sudah ada. Dengan asumsi sekarang ini orang merasa tak berat hati beli kuota internet, padahal cuma bermasa akfif tigapuluh hari, tentu sebuah STB-DVB-T2 yang bisa dipakai jangka lama --bila tak rusak sih😊--, secara harga sepertinya tak terlalu memberatkan, sepertinya lho ya.

Semoga ASO secara nasional segera bisa diterapkan. Bukan sekadar agar siaran tv menjadi clink, namun frekuensi analog sebagai sumber daya yang amat terbatas bisa segera digunakan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat. *****

  



Sabtu, 15 Oktober 2022

Berita TV Berita

MINGGU lalu, dalam mengakhiri membaca berita di KompasTV, Aiman Witjaksono juga pamit. Bukan pamit untuk esok bertemu lagi di Kompas Malam, misalnya. Tapi pamit betulan. Iya, pamit resign dari KompasTV

Orang tv berita pindah-pindah adalah hal lumrah. Lihat CNN Indonesia. Orang-orang dari tv berita, atau paling tidak orang pemberitaan di televisi hiburan, banyak yang ngumpul disana. Mulai Desi Anwar, Putri Ayuningtyas, dan berderet nama lainnya. Kania Sutisnawinata juga pernah hengkang ke Bloomberg tv, dan ketika Bloomberg TV Indonesia cuma bertahan mengudara seumur jagung lalu gulung layar, Kania balik lagi ke MetroTV. Don Bosco Selamun, pun demikian. Pernah di SCTV, lalu ke MetroTV, lalu ke BeritaSatu, lalu balik lagi ke MetroTV.

Banyak nama orang pemberitaan di tv Indonesia, barangkali tak begitu saja bisa lepas dari Karni Ilyas. Misal, saat si pemilik suara serak itu masih pemred di Liputan6 SCTV, Don Bosco masih wakilnya. Rosiana Silalahi, Arief Suditomo atau Ira Kusno, Alvito Deanova, Bayu Setiono masih News Anchor-nya.

Kini  Rossi pemred KompasTV, Arief Suditomo (selepas dari pemred di RCTI dan sempat jadi anggota DPR), sekarang pemred di MetroTV.

Balik ke Aiman. Serara waktu, ia lama di Seputar Indonesia RCTI. Beberapa waktu sebelum ke KompasTV, sempat saya lihat Aiman membaca berita di TVRI. Sayang saya tak sempat memotretnya. Kini Aiman sudah keluar dari KompasTV. Kemana?

Ada adagium di orang-orang perhotelan. Bahwa, orang-orangnya ya itu-itu saja. Muter. Dari hotel satu ke hotel lainnya. Lalu balik kucing ke hotel pertama. Biasa. Lazim. Pun, sepertinya, orang tv juga demikian. Termasuk Aiman. Balik lagi ke Kebun Jeruk. Markas MNC grup. Pegang INews.

Ingin jadi nomor satu itu perlu. Termasuk dengan squad sekuat ini: Tommy Tjokro, Prabu Revolusi dan Aiman Witjaksono. Tapi semua tv berita juga punya asa yang sama. Ingin jadi yang terdepan. Sekaligus terpercaya!

Perlu diingat, pemegang kontrolnya tetap pemirsa. Lewat remote. Juga, pemirsa tahu kok. Mana yang independen, mana tv berita yang partisan. Terlebih, bos besar tv berita itu punya parpol. 

Penelitian yang dinisiasi oleh profesor ilmu politik dari Amerika Serikat, Taberez A Neyasi bersama pakar komunikasi poltik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dan dimuat oleh jurnal Social Media Society menyebutkan, berbeda dengan di negara barat, hoax di Indonesia (kadang) justru disebarkan oleh media mainstream. Nah.

Tetapi, mungkin daya lekat di otak kita memang tak terlalu kuat, sehingga gampang lupa. Misal, tak sedikit orang yang antipati kepada satu media (tv) karena menilai tv tersebut pro ke capres tertentu. Dan pada saat bersamaan pemirsa itu lebih percaya ke tv lain yang diniliai lebih bisa netral berdasar hasrat politik yang sejalan. Padahal, kedua tv (berita) tersebut setali tiga uang. Sama-sama secara tersirat namun kelihatan. Punya capres masing-masing berdasar nalar: bosnya sama-sama orang parpol.

Pemilu kian dekat. Untuk menjadi nomor satu dan dalam menyongsong ingar-bingar gelaran pesta demokrasi, masing-masing tv berita sudah menyiapkan program andalan. Pada yang demikian itu, seyogianya pemirsa juga punya andalan: persikap bijak dan tak gampang jadi korban berita.

Saya: Edi Winarno, salam! (tolong dibaca seperti gaya Aiman Witjaksono saat mengakhiri program Aiman)😊 ****